TIGA INDIKATOR KEBERAGAMAAN KITA :
JUJUR, AMANAH DAN MALU
JUJUR, AMANAH DAN MALU
Jujurlah Kalian
Selalu, Karena Sesungguhnya Kejujuran Itu Mengantarkanmu Pada Kebaikan, Dan
Kebaikan Itu Sesungguhnya Mengantarkanmu Menuju Surga. Sedang Dusta Hanya Akan
Mengantarkanmu Pada Keburukan Dan Dosa, Dan Sesungguhnya Dosa Itu
Mengantarkanmu Menuju Neraka
(HR Bukhori dan
Muslim)
Kejujuran
Adalah Kebijakan Yang Paling Baik
(Benyamin
Franklin)
Kejujuran Adalah Bab Pertama Dalam Buku
Kebijaksanaan
(Thomas Jefferson)
Tiga indikator
keberagamaan tersebut sebenarnya merupakan tiga pilar karakter yang sudah
sering kita dengarkan dalam berbagai acara ceramah atau pengajian yang sering
kita ikuti, yakni malu, amanah, dan jujur. Untuk kepentingan tulisan singkat
ini, urutannya sengaja saya ubah menjadi jujur, amanah, dan malu. Bukan
berdasarkan faktor penting tidaknya pilar
karakter itu, tetapi semata-mata agar mudah dibuatkan mnemonik atau titian ingatan, atau jembatan keledai, atau akronimnya untuk memudahkan kita mengingat substansi kutbah tersebut. Itulah sebabnya judul tulisan singkat ini saya buat menjadi JAM, yakni singkatan dari JUJUR, AMANAH, dan MALU, yakni tiga indikator yang menjadi ukuran apakah kita dapat disebut sebagai umat yang beragama dengan baik atau belum.
karakter itu, tetapi semata-mata agar mudah dibuatkan mnemonik atau titian ingatan, atau jembatan keledai, atau akronimnya untuk memudahkan kita mengingat substansi kutbah tersebut. Itulah sebabnya judul tulisan singkat ini saya buat menjadi JAM, yakni singkatan dari JUJUR, AMANAH, dan MALU, yakni tiga indikator yang menjadi ukuran apakah kita dapat disebut sebagai umat yang beragama dengan baik atau belum.
Jujur
Jujur merupakan salah
satu pilar karakter Nabi Muhammad. Rasulullah SAW dikenal sebagai seorang yang
jujur, atau fathonah. Bukan hanya jujur dalam sikap, tetapi juga dalam segala
tindakannya. Dalam hal ini, sangatlah mustahil jika Nabi itu bersifat pembowong
atau kizzib atau dusta. Dalam Surat An Najm (4 – 5), Allah SWT berfirman:
وَمَا
يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al
Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.
إِنْ
هُوَ إِلَّا وَحْىٌۭ يُوحَىٰ
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan kepadanya.
Karena kejujurannya
itulah Rasulullah patut menjadi suri tauladan kita semua umat Islam. Bahkan,
orang di luar Islam, namanya Michael H. Hart, dalam bukunya betajuk “The 100: A
Rangking of the Most Influential Persons in History”, telah meletakkan
Rasulullah SAW sebagai manusia yang paling berpengaruh di muka bumi di antara
100 orang yang paling berpengaruh dalam perjalanan sejarah umat manusia. Beliau
mempunyai perilaku dan akhlak yang sangat mulia, tanpa membedakan manusia dari
status sosial, warna kulit, suku bangsa atau golongan. Beliau selalu berbuat
baik kepada siapa saja bahkan kepada orang jahat atau orang yang tidak baik
kepadanya. Oleh kerana itu tidak mengherankan jika dalam Al-Quran beliau
disebut sebagai manusia yang memiliki akhlak yang paling agung.
Sayang sekali, dewasa
ini kehidupan masyarakat dan bangsa kita, yang secara mayoritas mengaku sebagai umat Islam, telah digerogoti
oleh virus korupsi yang konon dapat dikatakan sudah mencapai stadium keempat.
Tidak ada satu aspek kehidupan yang bebas dari virus korupsi ini. Mulai dari
olah raga, bahan sembako makanan berupa daging, bawang merah, sampai denga
parkir mobil pun sudah terkena virus tersebut. Dengan nada geram, Khatib pun
menyebutkan bahwa sampai dengan urusan pencetakan kitab suci pun sudah terkena
pula virus korupsi ini.
Itulah sebabnya,
khatif telah mengingatkan kepada kita semua untuk dapat menghidupkan kembali
sifat jujur yang menjadi salah satu dari empat sifat Rasulullah SAW.
Amanah
Pilar karaktekter
amanah juga merupakan salah satu dari karakter yang dimiliki oleh junjungan
kita Nabi Besar Muhammad SAW. Nabi kita dikenal sebagai seorang yang sangat
amanah. Diceritakan oleh khatib, pada zaman Rasulullah SAW, konon ada seorang
penggembala biri-biri di padang pasir jazirah Arab. Dia didatangi oleh
sekelompok penjahat yang akan mengambil biri-biri itu dari penggembala. Maka
dibujuk-rayulah pengembala itu. “Hei penggembala, dapatkah saya minta
biri-birimu itu?”. “Oh tidak,ini biri-biri bukan milik saya, tetapi milik tuan
kami. Karena itu, saya tidak dapat memberikan biri-biri ini kepada tuasn”.
Demikian jawab penggembala biri-biri itu. Para penjahat itu pun belum berhenti
membujuk penggembala, “Bukankah akan sangat mudah, jika kamu bisa
memberitahukan kepada tuanmu bahwa biri-biri itu telah diterkam serigala atau
binatnag buas yang lain”, bujuknya. Namun penggembala bersikukuh tidak
memberikan biri-biri itu kepada para penjahat. Walhasil, penggembala itu
dikenal sosok yang sangat amanah dalam menggembala biri-birinya.
Sifat amanah juga
menjadi salah satu dari empat sifat Rasulullah SAW yang harus kita teladani.
Amanah bermakna benar-benar boleh dipercayai. Jika satu urusan diserahkan
kepadanya, nescaya semua orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya. Oleh kerana itulah maka penduduk Mekkah member gelar
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai
‘Al-Amin’ atau ‘terpercaya’. Gelar ini diberikan kepada Muhammad SAW jauh
sebelum beliau diangkat jadi seorang Rasul. Apa pun yang beliau ucapkan dan
laksanakan, dipercayai dan diyakini penduduk Mekkah karena beliau terkenal
sebagai seorang yang tidak pernah berdusta.
Sama dengan sifat
jujur, sifat amanah pun dalam kehidupan negeri kita ternyata telah menjadi barang
yang langka. Mulai dari “kalangan alit” sampai dengan “kalangan elit”, sebagian
besar telah terjangkit virus dalam kehidupan yang fana ini.
Malu
Malu adalah sebagian
dari iman. Ini hadist yang sangat sering kita dengar dalam percakapan
sehari-hari. Tetapi entah apa dan bagaimana, banyak di antara kita yang sudah
tidak punya malu lagi. Sifat jujur dan sifat amanah sebagaimana yang telah
dicontohkan oleh Nabi telah semakin menipis, bahkan nyaris hilang dalam
kehidupan. Hilangnya kedua sifat itu pun juga tidak membuat malu. Artinya, rasa
malu pun sudah hilang pula sebagai salah satu indikator keberagamaan kita.
Dengan demikian, yang perlu dipertanyakan dalam hal ini adalah “masihkah kita
dapat disebut sebagai manusia yang beragama?”
Refleksi
Refleksi artinya
mengaca diri. Materi khutbah Jum’at kali ini diharapkan dapat menjadi kaca
bening yang dapat kita gunakan untuk mengaca diri. Masihkah kita memiliki
ketika indikator tersebut? Masihkah jujurkah diri kita? Jujur kepada diri
sendiri, jujur kepada istri, anak, dan keluarga, serta bahkan jujur kepada
warga masyarakat dan bangsa kita. Hanya Allah SWT dan diri kita sendirilah yang
obyektif dalam menilai kejujuran diri kita sendiri.
Masihkah kita amanah
dalam mengemban tugas dan kewajiban dalam kehidupan ini? Amanah memegang janji
yang telah kita ucapkan? Janji kepada diri sendiri, janji kepada keluarga, juga
janji kepada semua pihak dalam kehidupan ini. Hanya Allah SWT dan diri kita
sendirilah yang obyektif dalam menilai.
Kemudian, masihkah
kita masih memiliki malu? Ataukah wajah kita ternyata telah seperti pepatah
“bak cermin kaca dibelah”. Ternyata, wajah kita sudah demikian rusak seperti
potret yang dapat kita lihat sendiri seperti potret dalam kaca yang terbelah
tersebut. Wallahu alam bishawab. Juga hanya Allah SWT dan diri kita sendirilah
yang menjadi juri obyektif yang dapat menilainya.
Sesungguhnya, masih
banyak indikator-indikator keberagamaan kita. Namun demikian, dalam kutbah
Jum’at kali ini, khatib kali ini hanya menjelaskan ketiga indikator tersebut.
Ketiganya memang memang menjadi masalah kita semua dewasa ini. Dari manakah
kita harus memecahkannya? Aa Gym sering menyampaikan taushiyah “mulailah dari
diri sendiri”. Mudah-mudahan.
SILAKAN BAGIKAN, JIKA ARTIKEL INI BERMANFAAT !!!
TERIMA
KASIH